Karst Maros |
Awal
November 2014,
Bandara Sultan Hasanudin
Makasar, saya tiba disana pukul 09.36 pagi. Perjalanan melalui pesawat udara berlangsung
lancar berkat cuaca cerah dari Jakarta sampai di Kota ini.
Kali pertama saya
menginjakan kaki di Kota yang terkenal dengan hidangan khasnya yaitu Coto Makasar
dan juga sebuah pantai yang sudah masyur ke seantero negeri, Pantai Losari,
tapi kali ini saya tidak akan membahas dua hal tersebut, saya akan mengajak
pembaca yang budiman untuk mengunjungi salah satu objek wisata yang tak kalah
menariknya dengan Pantai Losari, bahkan kalau menurut saya, lebih mendebarkan
dari wisata pantai tersebut, yaitu mengunjungi megahnya Karst Maros,
Ramang-ramang dan Desa Berau
Batu Wajah |
“Karst merupakan
gugusan tebing Cadas yang terbentuk oleh erosi bawah tanah batuan seperti Batu
Kapur dan Marmer yang larut dalam air. Kawasan ini juga dikenal sebagai Hutan
Batu terbesar dan terindah kedua di Dunia setelah Karst di Yunnan, Cina
Selatan, Cina. Kawasan Karst Maros sendiri terbentuk oleh batuan gamping sejak
ribuan tahun yang lalu. membentang di wilayah kabupaten Maros dan kabupaten Pangkep, Sulawesi
Selatan, dengan luas sekitar kurang lebih 40 ribu hektar. Keunikan karst
Maros-Pangkep terletak pada bentuknya yang seperti menara dan benteng batu yang
berdiri sendiri maupun berkelompok membentuk gugusan pegunungan batu gamping
yang menjulang tinggi dengan berbagai macam bentuk yang unik, ada sebuah menara
batu yang jika dilihat dari titik yang pas akan membentuk siluet wajah. Karst Maros-Pangkep yang merupakan bagian dari Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung adalah surga bagi pecinta alam. Selain menikmati indah
tebing batu, kita juga dapat menjelajahi Gua-gua disekitar karst dengan bantuan
pemandu setempat, tentunya dengan peralatan dan pakaian yang sesuai dengan
wisata jelajah Gua”.
RAMANG-RAMANG dan DESA BERAU
Seperti biasa, bukan Mickey
namanya kalau ga spontan atau langsung ambil keputusan mau kemana a.k.a NEKAD, berbekal
cerita dan arahan dari teman kantor saya yang bernama Citra, kalau ke Makasar,
sudah suatu keharusan tersendiri untuk mengunjungi kawasan Ramang-ramang dan
Kampung Berua, dijamin puas. Tapi saya masih ragu mengenai arah ke Maros, dan tiba-tiba saja saya ingat seseorang, aha, langsung saja saya menghubungi Mas Donny De Keizer, sebagai orang Makasar yang sekarang sudah jadi pembawa berita kondang di station TV Berita Satu di Jakarta, pasti dia tahu jalan menuju Maros, dan benar saja, setelah mendapat arahan dari Mas Donny, saya langsung mencari mobil sewaan berikut supir. menurut Mas Donny, akan lebih dekat dari airport kalau hendak ke Maros, jika ke Kota makasar terlebih dahulu akan muter-muter, okelah, thanks lho mas. Setelah mendapatkan mobil sewaan untuk satu hari
seharga IDR. 600000, saya dan teman saya langsung menuju Dermaga Ramang-ramang,
oh iya, berdasarkan pengalaman saya dan
kebetulan tidak menyenangkan, akan lebih nyaman kalau menyewa mobil sewaan dari
travel yang dapat dipercaya, jangan dari airport, selain harganya yang mahal,
attitude supirnya pun bakal bikin kita naik darah, atau lebih amannya sewa
mobil dari hotel.
Dermaga Ramang-Ramang |
Untuk mencapai Dermaga
Ramang-Ramang, Kita juga bisa
menggunakan transportasi umum maupun kendaraan pribadi menyusuri jalan poros
maros-pangkep kemudian berhenti di belokan jalan masuk menuju pabrik Semen
Bosowa. Nah dari sini, Dusun Ramang-ramang hanya berjarak beberapa ratus meter.
Jika menggunakan transportasi umum dari
Makassar, kita dapat naik Pete-pete (angkot) jurusan Terminal Regional Daya,
lalu lanjut naik Pete-pete jurusan Pangkep. Bilang ke pak supir untuk
diturunkan di Pertigaan Semen Bosowa, Dari Pertigaan Bosowa bisa naik ojek atau
naik Pete-pete lagi, kalau ingin hemat dengan alasan sehat boleh aja jalan kaki,
karena jaraknya kira-kira hanya 500 meter. Ada plang tulisan Dermaga Ramang-Ramang segede gaban.
Jolloro/Perahu |
Dermaga Ramang-Ramang 10.55 a.m.
Saya
tiba di Dermaga Ramang-ramang saat Matahari hampir berada tepat diatas kepala, ya betul, menjelang tengah hari, tapi saya tetap bersyukur, artinya bisa dapat
pencahayaan yang bagus buat foto nanti dan tanpa menunggu lama, saya
menghampiri pemilik perahu di pinggir dermaga, namanya Daeng Sahrul, senyumnya
manis, tutur bahasanya sopan dan halus hehehe
maklum, supir sewaan yang menemani saya tata bahasanya khas Makasar alias
ngajak gelut kalau buat orang yang baru kenal, beda sekali dengan Daeng
Sahrul ini, yang menawarkan IDR. 250,000 untuk sewa perahu atau bahasa setempatnya
adalah Jolloro dari dermaga Ramang-ramang menuju Desa Berau dan kembali lagi ke
dermaga ini, sayapun setuju. Satu buah Jolloro bermesin tunggal mengantar saya menuju
Kampung
Berua. Sepanjang aliran sungai banyak ditumbuhi Pohon Nipah, atau Nipa untuk
bahasa setempat
Pohon Nipah |
“Nipah, adalah sejenis palem (palma)
yang tumbuh di lingkungan hutan bakau atau
daerah pasang-surut dekat tepi laut. Di beberapa negara lain, tumbuhan ini
dikenal dengan nama (dalam Bahasa Inggris) Attap Palm (Singapura), Nipa Palm atau losa (Filipina), atau umumnya disebut Nypa
palm. Nipah dapat
tumbuh di wilayah yang berair agak tawar, sepanjang masih terpengaruh
pasang-surut air laut yang mengantarkan buah-buahnya yang mengapung. Nama ilmiahnya adalah Nypa fruticans Wurmb, Tumbuhan ini merupakan
satu-satunya jenis palma dari wilayah mangrove.Fosil serbuk sari palma
ini diketahui berasal dari sekitar 70 juta tahun yang silam.
Jembatan Bambu |
Di sepanjang perjalanan menuju Kampung Berua,
mata kita akan dimanjakan oleh pemandangan alam yang indah, selain hamparan
pohon nipah di kiri dan kanan aliran Sungai Puthe, kita juga akan melihat hamparan
tebing Karst yang menakjubkan, saat itu
saya datang di awal bulan November, jadi belum waktunya musim hujan, tapi
pemandangan disekitar Sungai Puthe tetap istimewa, saya seperti dibawa masuk ke
hutan hujan Amazon, ditambah perjumpaan kami dengan Monyet Hitam dan Belibis
liar, perjalanan saya kali itu makin menyenangkan, "senang karena monyetnya ga loncat ke perahu, kalau monyet dan
teman-temannya yang bergerombol macam geng nero itu bergabung bersama saya,
saya mungkin sudah jejeritan memeluk Daeng Sahrul minta diselamatkan, bagusnya
sang monyet dkk lebih memilih hanya memandangi saya dari atas tebing batu,
mungkin mereka baru mikir, “hmm enaknya diapain ya nih orang” hehehe.
Anyway,
Setelah hampir tiga puluh menit menyusuri Sungai Puthe, melewati
lorong-lorong tebing karang, memandangi menara-menara Karst, Daeng Sahrul menambatkan
perahunya disebuah dermaga kecil, ada papan nama desa terletak tak jauh dari
dermaga.
Lorong Karst |
“Selamat datang di Desa Berau” tertulis di papan penanda Desa Berau, artinya sudah sampai ditujuan. Saya
tertegun mengagumi indahnya Desa Berau ini, indah luar biasa, hamparan sawah
membentang sepanjang mata memandang, jajaran rumah panggung khas Sulawesi
Selatan pun tampak rapi dari kejauhan, kawanan sapi yang tengah merumput, bahkan
dibeberapa tebing karst yang letaknya berdekatan dengan dermaga, tampak goa goa
yang sudah dijamah wisatawan. Tanpa menunggu lama, saya dan Daeng Sahrul menuju
warung milik Ibu Maryamah, tetangga satu desa Daeng Sahrul di Berau ini. Di Desa Berau belum ada akses listrik, jadi sumber listriknya
berasal dari panel tenaga surya dan hanya cukup untuk penerangan rumah
dan menurut
informasi yang saya terima, di Kampung Berua Ramang-Ramang ini hanya
didiami oleh lima belas kepala keluarga. Walau hanya didiami oleh lima belas
kepala keluarga namun dua bahasa asli Sulawesi Selatan yang
digunakan yakni Bahasa Makassar dan Bahasa Bugis tetap dipertahankan oleh para warganya
yang tinggal di desa ini.
Gua Siki
Berlian, Gua Baru Berlian, Laba-Laba
Desa Berau |
Setelah perut terisi mie rebus plus dua telur ayam dan
sekilo cabai rawit plus teh manis hangat, saya tertarik untuk menelusuri
beberapa goa yang ada disekitar Desa Berau, yang pertama Gua Leang, dari warung
Ibu Maryamah ke Gua ini jaraknya lumayan, lumayan
bikin keringetan hehehe, kira-kira berjarak 500 meter melewati pematang
sawah dan pintu gua yang mendaki, di dinding gua banyak terdapat lukisan tangan
manusia purba berwarna magenta dan lantai guanya dipenuhi cangkang kerang,
membuktikan bahwa jutaan tahun yang lalu dataran tinggi karst ini adalah
permukaan laut, begitu kira-kira analisa saya, karena saya sudah celingukan kiri kanan cari gerobak seafood tenda khas
pinggir jalan di Jakarta ga juga ketemu, hehehe. Gua yang kedua, namanya Gua
Siki Berlian, saat hendak memasuki Gua ini, Daeng Sahrul memanggil Daeng lain
yang punya kesaktian cukup tinggi untuk menemani kami masuk ke dalam gua
tersebut diatas, disini saya masih tenang, karena pemandangan sekitar pintu gua
sangatlah indah, setelah bertemu dengan Daeng yang dipercaya oleh warga
setempat sebagai juru kunci gua-gua di Desa Berau ini, kami langsung menuju Gua
Siki Berlian, supir saya mulai ketakutan,
gayanya mulai manja, macam abg minta izin mau ke citos sama bapaknya yang lagi sakit gigi ditanggal tua, saya sih
santai, kebetulan saya pake baju dan sendal gunung, tapi begitu melihat pintu
gerbang guanya, saya sedikit menelan ludah, sedikit lho ya, gerbangnya terbuat
dari anyaman Bambu dilengkapi dengan tali putih yang ya begitulah.. hmm...
Jalan menuju Gua |
okelah
kita masuk saja, toh Daeng Sahrul tetap senyum pepsodent, sementara supir saya
berbicara setengah memohon ke Daeng Sahrul dengan bahasa Bugis, rupanya dia
minta ga ikut, tapi dilarang, kalau sudah masuk ke gerbang, ga boleh mundur,
nah lho. Jalan menuju Goa Siki Berlian dan Goa Baru Berlian setengah menanjak
dan dibeberapa bagian tebing kita harus mendaki, dalam hati supir saya mungkin sudah mengeluarkan sumpah serapah hahaha
emang enak. Apa yang ditunjukan Daeng Kuncen sangatlah indah, stalaknit
berbentuk bendungan alami yang mengandung kristal, dan cahaya lampu senter yang
memantul membuat cahaya disekitar goa semakin indah, sayangnya kita harus
berhati-hati saat mendaki tempat ini, jika salah pijak badan bisa terhempas
kebawah dan langsung hilang ditelan kegelapan goa. Selesai mengagumi Gua Siki
Berlian, kami menuju Gua Baru Berlian, hmmmmppfffh saya sebenarnya ingin
menolak, tapi tatapan mata Daeng Kuncen penuh arti, maka saya, teman saya Reza,
Daeng Sahrul dan supir saya akhirnya masuk ke gua ini, pintu masuknya harus
memanjat vertikal ke atas dengan bantuan Bambu yang disusun menjadi tangga,
bagi teman-teman yang lingkar pinggangnya lebih dari 32cm sebaiknya jangan
memaksa masuk, sempit sekali.
Pemandangan didalam Gua
Mr. Peter Parker's bro
Butuh usaha extra buat saya dan teman-teman untuk
masuk ke gua ini dan sesampainya kami didalam gua yang kira-kira berukuran
kurang lebih lebar 3 meter dengan sealing setinggi 6 meter kami melihat sebuah
batu yang bentuknya mirip dengan figur seorang kakek, dengan raut wajah yang
sedih, naluri ke 6 saya berbicara, saya harus cepat keluar, betul saja, saat
senter saya arahkan ke langit-langit gua, beuuuh...ala mak jan...adinda lebong
lebong segedong bagong, (ya astaga itu laba-laba gede banget) posisinya persis
diatas kepala saya dan teman-teman, dan disini
saya ingin mencekik supir saya dan mempersembahka dia buat dedemit penunggu
gua, bayangkan, di gua sesempit itu dia panik disko jejeritan ketakutan lihat
Laba-Laba itu, belum lagi kibasan tangannya yang membabi buta, ok mungkin dia
takut, tapi teman saya ternyata punya phobia laba-laba dan dia masih berusaha
tenang, walau saya lihat dia gemetar, belum selesai drama sama supir saya yang
marilah, kita sebut saja namanya balbie, saya menemukan sesuatu teronggok
dibalik batu, kulit kering bekas ular berganti kulit, wew...bagusnya semua
berjalan lancar sampai kami keluar dari Gua tersebut, saya lihat Balbie nangis
dimulut gua, hahaha sukurin, gimana dong? namanya juga gua, wajar saja jika ada
laba-laba dan ular, yang ga wajar tuh di dalam gua ada badut...hii..nevermind.
Rumah di Desa Berau |
Setelah berpamitan dengan Daeng kuncen, saya diajak
mampir ke rumah Daeng Sahrul, beliau menawarkan saya dan teman saya minum, sementara Balbie masih pucing katanya,
bahkan saya sempat lihat Balbie bicara sendiri..o ow..mungkin kepalanya Balbie
kebentul tembok gua saat Balbie nekad loncat tadi karena si Lebong-lebong gua,
awas aja kalau sampe alesan ga bisa bawa mobil, hih saya panggil itu laba-laba
buat mijitin dia. Rumah Daeng Sahrul sangat nyaman, bentuknya khas rumah
traditional Sulawesi Selatan, ada beranda dan bale bengong untuk Daeng Sahrul
dan keluarganya bercengkrama diwaktu senggang. Ah pasti nyaman duduk santai
disini saat sore hari sambil menikmati teh hangat ya.
Tidak berapa lama, saya, teman saya dan Balbie pun
kembali ke Dermaga Desa Berau untuk segera kembali ke Kota Makasar, tidak lupa
juga kami berpamitan ke Ibu Maryamah, pemilik warung yang sudah masakin kita
mie rebus dan membuatkan teh manis di Desa Berau. Perjalanan pulang kami pun
ditempuh dengan waktu yang sama saat kami berangkat tadi, kurang lebih 30 menit.
Dan sepanjang perjalanan pulang, Balbie terlihat tidak nyaman, saya penasaran,
kenapa bal? Tanya saya curiga, Jawaban dia membuat saya tertawa terpingkal-pingkal,
Balbie pipis dicelana hahahaha, muka sih boleh sangar, tato dimana mana, tindikan
sampe ujung hidung macam Kerbau aduan, eh ama laba-laba keok ahahaha (bagus dia
ga tahu ya saya takut badut, Aman)
Karst di Sungai Puthe |
Karst tampak dari kejauhan |
No comments:
Post a Comment