Baduy, December akhir 2012
“Terkadang Cinta harus ditempa
dalam sepi, rindu dikuatkan dalam sendiri dan rasa percaya diuji dalam jarak”
(MCKY)
Suatu sore di Jakarta menjelang tahun baru 2013,
Awab: “kamu gak papa kan malem tahun baruan sendirian? Atau kamu bisa
balik ke Menteng atau sama teman-teman kantor kamu aja tahun Baruannya”
Saya: “saya ke Baduy ya, gimana?”
Awab: “mau nguatin jimat ya? Hehehe, sama siapa?”
Saya: “sendiri”
Awab: “are you ok?”
Saya: “saya kirimin fotonya nanti, take care ya, good luck with your
event there, keep in touch”
Awab: “kabari saya ya kamu jadinya kemana, jangan aneh-aneh ke Baduy, lagi
musim hujan, ok? Kok diam?
Saya: “i’m nodding”
Awab: “ yo wis, take care ya.. ay lop yuh” (cieeee elaaaah)
Saya: “ay lop yu puuuuul” (prikitiiiiiiiiiiiiiw)
Klik...sambungan telepon antara saya dan dia terputus, hmm...hari itu
December 28 2012, dia tengah tugas negara ke Batam, ada wong sugih disana yang
mengawinkan anaknya, sebagai penghulu, eits maksudnya WO, dia melakukan
tugasnya untuk membantu mengatur acara pernikahan keluarga tersebut dan
pastinya demi berlian yang sekarang menemani saya nulis jurnal terntang
perjalanan saya ke Baduy ini hehehe..
Minggu, 30 December 2012
07.00 Pagi, saya sendirian di rumah, teman-teman sudah punya rencana
sendiri-sendiri untuk malam tahun baruan, hmm jangan sampe saya niup terompet
sampe jontor besok malam sendirian, apa kata orang rumah a.k.a orang belakang
(saya lagi males pulang ke Bogor, hmpfh biasalah males dengan pertanyaan basi
dari tetangga, udah 2013 nih, kapan kawin? Males kaaaaaan...emangnya kalau saya
kawin harus bilang-bilang, lha wong baru pacaran aja namanya sudah cinta
terlarang, gimana kalau kawin? Apa namanya? *emosi, okeh lanjut. Tanpa banyak
pertimbangan saya ambil tas kamera,saya isi semua perlengkapan kamera kedalam tas lalu
saya pandangi setelah selesai packing, wah wah wah keren banget nih
keliatannya, saya pun coba memakai tas tersebut dan ternyata..buseeeeeet
beraaaat bangeeeeet, macam bawa babi hutan dewasa setengah sadar dipunggung
(kalau si bagong digendong dalam keadaan isdet lebih berat, eh kok jd babi
sih?). tapi demi tidak melewatkan moment di Baduy nanti, saya rela membawa
peralatan itu semua dan artinya harus membawa traveling bag untuk bawa pakaian
(karena pergi sendiri tanpa teman2 centil jadi saya hanya bawa pakain
secukupnya hehehe).
Stasiun Tanah Abang
Selesai dengan packing yang hanya memakan waktu satu jam, saya segera
meluncur ke Stasiun Kereta Tanah Abang, sebuah kenangan terlintas disana,
kenangan akan saya dan beberapa sahabat sebelas tahun yang lalu, moment dimana
saya bertemu mereka, moment dimana kami masih... ah sudahlah, daripada
mengundang kepo dari pembaca yang kurang kerjaan, kita lanjut lagi...oke? sampai
Stasiun Kereta Jam 09.00 Pagi, suasana khas stasiun sudah mulai terlihat,
apalagi saat itu menjelang tahun baru, otomatis penuhnya cihuy abis (plus
muka-muka mencurigakan dari para pencopet, jadi saat momen seperti ini kita
harus tetap waspada ya). Setelah tiket ditangan, saya menuju peron tujuan saya,
HP saya bergetar, saya buka sebuah pesan SMS masuk dari teman saya Molina
Silalahi, Bandar Tupperware Se Sumatera Utara, isinya: “min, (min, kependekan
dari mimin, sarimin, panggilan sayang dari teman-teman dikantor saya, cih) beneran
ke Baduy? Hati-hati ya min” saya balas dengan pesan singkat (Molina adalah
salah satu teman backpacking saya, kami
sempat satu kantor, sayang dia memilih pulang ke Medan untuk membantu usaha
keluarga, niat yang patut diacungi jempol, walaupun resikonya buat dia adalah:
peluang mendapatkan jodoh jadi sangaaaaat keciiiil sekali karena disana minim
lelaki yang sesuai kriteria dia, *bah makanya jangan ketinggian laeeee hehehe
peace mol)
Kereta Api
Setelah berusaha masuk kedalam kereta yang penuh dengan calon penumpang
yang sangat agresif, saya berhasil mendapatkan tempat duduk yang nyaman...lebih
tepatnya duduk dilantai gerbong kereta hehehe, maklum, saat itu kereta tujuan
Rangkasbitung memang masih kelas Ekonomi, jadi begitulah adanya. Setelah dua
jam menempuh perjalanan, kereta sudah memasuki daerah Rangkas, saya sempat
tertidur tapi merasakan suatu kehangatan yang menjalar keseputar bokong yang
saya duduk dilantai, apakah gerangan? Setelah saya tengok ke sumber kehangatan,
rupanya ada anak kecil yang lagi pipis dibelakang saya, ibunya cuek ngupil,
bapaknya mangap dibuai alam mimpi, bah...apa mau dikata, saat itu saya hanya
bisa senyum-senyum sendiri, (boong sih, saya pelototin itu anak, sambil
misuh-misuh dalam hati: kampret)
Sekitar jam 13.15 kereta tiba di Stasiun Rangkasbitung, keramaian khas
pasar yang membaur dengan hiruk pikuk stasiun menjadi satu, bahkan lokasi
terminal yang tidak jauh letaknya dari stasiun, membuat keramaian dan tentunya
kemacetan makin menjadi jadi. Terdorong hasrat ingin pipis, saya pun berlari
mencari toilet umum yang searah dengan terminal. Tepat didepan WC umum, saya
bertemu lagi dengan si anak kecil yang tadi pipisin saya dikereta, “ih lucu
banget deh kamu”, begitu sapa saya ke dia...(*bohong banget, padahal melototin
lagi hehehe)
Terminal Rangkasbitung
Terminal Rangkasbitung, dulu mobil angkutan suzuki elf jurusan
Rangkasbitung – Ciboleger (Desa base pertama di kawasan Baduy Luar) banyak
terdapat di pintu keluar stasiun, tapi sekarang kita harus naik angkot terlebih
dahulu ke terminal luar, saya lupa namanya apa, tapi ongkos yang saya keluarkan
saat itu 3000 rupiah dari terminal Rangkasbitung ke terminal tersebut.
Sesampainya di terminal, saya langsung menuju mobil elf jurusan Ciboleger,
beruntungnya saya, jumlah penumpangnya tidak terlalu banyak, jadi saya bisa
simpan tas kamera yang beratnya sudah bikin punggung ini mati rasa macam
melihat undangan kawin dari mantan pacar
di kursi sebelah saya. Baru saja saya merasakan kenikmatan dunia sesaat, naiklah
dua orang pemuda masa kini, yang kalau dilihat dari penampilannya, mereka
hendak pulang ke kampung dari Jakarta, dan dari aroma parfum yang dipakainya,
sepertinya mereka hendak bikin mabok orang satu kampung, karena baru beberapa
menit disamping mereka, saya jadi ikutan wangi, mana baunya kayak kuburan
baru...tepatnya bau kembang tujuh rupa, ditambah kaca jendela yang ikutan
manja, kacanya hanya bisa dibuka setengah, saat itu saya hanya bisa berdoa,
semoga mereka turun secepatnya, atau saya tidur secepatnya, tapi sayang...Tuhan
ingin mereka menemani saya yang terjaga sepanjang perjalanan sampai Ciboleger.
Ciboleger
Sesampainya di Ciboleger, saya yang nyaris pingsan karena aroma kembang
setaman dua sekawan tadi akhirnya bisa
menghirup udara segar, hujan yang merintik seolah menyambut saya kembali disini,
tahun 2005 yang lalu saya terakhir kesini.
“Dan sedih itu menyeruak bagaikan pencuri ditengah malam, datang tanpa
permisi”
Saya pandangi sekeliling terminal Ciboleger tersebut, kilasan moment saya
dan teman-teman beberapa tahun yang lalu
keluar, kami berkumpul didepan tugu, spanduk bertuliskan nama rombongan kami,
senyum dan tawa kami mengisi siang yang terik, juga pelukan erat penuh
keakraban antar sahabat yang saat itu terjalin, lalu semua itu berlalu, berganti
dengan hilangnya kontak diantara kami, dan tugu selamat datang khas Ciboleger
masih kokoh berdiri, seolah olah memandangi dan bertanya: “mickey, mengapa kali ini datang sendiri?” Dalam hati, saya pun
hanya bisa bertanya sendiri...tanpa pernah bisa menjawab lagi
“Teman datang dan pergi
“Sahabat tetap menemani
“Jarak tak akan berarti
“Karena sahabat tercipta dalam
hati
Hujan makin deras, saya pun berlari menuju rumah makan Ibu Haji, rumah
makan yang sudah ada sejak pertama kali saya ke Ciboleger, tahun 2001. Satu hal
yang membuat saya betah dan senang untuk datang kembali, Ibu selalu mengingat
saya, hafal dengan nama saya, dan ingat saya makan apa aja walau banyak
pengunjung lain yang juga makan hehehe. Setelah bertanya kabar dan bersalaman,
lalu si Ibu pun bertanya: “den miki kok
sendiri? Mana teman2nya? Kok jadi sendiri-sendiri sih ka Baduynya, bulan lalu
si anu juga sendiri, awal tahun lalu si ono juga sendiri, pada sibuk ya? Ibu
memberondong saya dengan pertanyaan yang hanya saya jawab dua kata: “oh ya?”
dan saya langsung mengalihkan pertanyaan ibu, ngeles macam bajaj belok
diperempatan, saya alihkan pertanyaannya ke makanan, selain itu saya juga
memang lapar, dan harus secepatnya ganti celana, karena limbah kebocoran dari
pipa si anak lucu dikereta siang tadi, mulai mengeluarkan aroma yang tak kalah
aduhaynya dengan aroma khas sang duo pemuda maut sebelumnya...
“kembali menapaki jalan ini
“rasakan jejak dalam memori
“mengingat senyum dan tawa
dalam imaji
“sekilas rindu menyeruak dalam
hati
“akankah mereka kembali?
Hujan masih turun, jam di arloji saya menunjukan waktu 17:02, saya
harus segera naik ke Gazebo, Desa Baduy luar, perjalanan yang bisa ditempuh
dalam waktu 45 menit saat cuaca cerah, bisa saja jadi lebih lama karena hujan, belum
lagi saya harus meminta izin terlebih dahulu kepada Jaro di Ciboleger, jarak
dari rumah makan Ibu Haji ke rumah Jaro tidak terlalu jauh. Saat hendak
membayar makanan, saya berkenalan dengan satu rombongan yang hendak merayakan
tahun baru di Baduy Dalam, mereka cukup kaget begitu tahu saya datang
sendirian, (hehehe jangankan sampean, lha saya juga kaget bisa nyampe sini
sendirian) dan kami pun bersama-sama menuju rumah Jaro untuk izin menginap di
wilayah Desa Gazebo (baduy luar) dan Desa Cibeo (baduy dalam). Perizinan
selesai, kami langsung menuju Desa Gazebo.
“Disini ditepi batas
Menyapa tanpa semangat
Baru kali ini maksa bawa tas
Katakanlah saya drama, tapi sepanjang perjalanan menuju Desa Gazebo saya habiskan dengan menikmati kesunyian berteman perkebunan dan bukit tanpa banyak
bicara dengan rombongan, mungkin mereka pun berpikir saya mau cari jimat atau
pengasihan, pakaian serba hitam, muka ditekuk, lebih banyak diam, sedikit
senyum dan lebih banyak berhenti setiap ada pohon besar, tapi jujur, itu semua
karena saya sebenarnya ingin sekali melempar tas kamera saya yang beratnya
mungkin sama dengan anak yang tadi pipisin saya di kereta (*masih dendam), saya
berhenti di pohon besar untuk sandaran, sedikit senyum karena saya sudah ga
tahan dengan beratnya.
Setelah hampir pengsan karena tas saya yang makin memberatkan hidup
saya, yang beratnya macam memaksakan hubungan walau situasi dan kondisinya
sudah semakin parah (ih kok malah ke perasaan sih?) lalu Pucuk dicinta ulam
tiba, Aldi, seorang kawan lama saya dari Baduy Dalam datang, melihat Aldi seperti
melihat awab didalam butik Prada saat end of season sale, dibayariiiin horeeee
(oops) maksudnya...karena Aldi akan membantu saya menghandle tas keparat itu
dengan senang hati, begitu tas berpindah punggung, saya pun langsung jepret
kanan jepret kiri, langsung ikrib satu persatu dengan teman-teman satu
rombongan, walau sekilas saya sempat lihat Aldi kerepotan dengan tas berat itu
hehehe maaf ya di jadi ngerepotin.
Satu jam lamanya perjalanan yang kami tempuh menuju Desa Gazebo dari
Ciboleger, sambil beristirahat dirumah salah satu penduduk yang sudah saya
kenal lama (dan jadi tempat menginap saya dan teman-teman), saya dan Aldi
ngobrol ngalur ngidul, herannya aldi tidak menanyakan hal yang ditanyakan Ibu
haji sebelumnya; kenapa saya datang sendiri?mungkin aldi sudah tahu, atau mungkin Aldi sudah hapal, kalau temannya
yang dari Jakarta ini memang sudah ga waras hehehe..atau mungkin aldi lelah
karena tas keparat itu...
Gazebo
Setelah mandi dan bersih-bersih, saya memberikan bekal yang saya bawa
untuk dinikmati bersama dengan rombongan saya dan tuan rumah, kehangatan dan
kebersamaan selalu tercipta pada saat makan malam dengan gaya ngariung (ngariung:
bahasa sunda, artinya berkumpul bersama sama, biasanya membentuk suatu
lingkaran dengan posisi duduk bersila untuk lelaki dan bersimpuh untuk
perempuan) menu kita malam itu, sarden masak cabe ijo dan indomie rebus telur
ancur lebur, dengan nasi yang beraroma harum khas Baduy, Alhamdulillah, nikmat
sekali rasanya. Selesai makan, kami keluar dan duduk santai ngobrol ngibril di
teras rumah panggung khas Baduy, memandang langit berpurnama, berhias kabut
tipis sampai terus mengantar malam yang semakin larut.
Setelah puas bercengkrama, kami pun masing-masing berpamitan untuk beristirahat, saya tidak tidur cepat malam itu, kepala saya kembali memutar kenangan saat saya dan teman-teman saya dulu disini, ah seandainya saja saat ini bersama mereka, pasti ada tawa menjelang tidur, ada canda pengantar mimpi...dan pastinya ada orang teriak: “WOOOOOOY BERISIIIIIIIIIIIK!!!!” oh iya, malam itu juga saya berulang tahun...Cuma jangkrik dan serangga malam yang memberi selamat ke saya dengan untaian orkestra khas suara malam mereka. Yang di Batam sepertinya lagi ngomel-ngomel karena hp saya mati kabeh hehehe
Setelah puas bercengkrama, kami pun masing-masing berpamitan untuk beristirahat, saya tidak tidur cepat malam itu, kepala saya kembali memutar kenangan saat saya dan teman-teman saya dulu disini, ah seandainya saja saat ini bersama mereka, pasti ada tawa menjelang tidur, ada canda pengantar mimpi...dan pastinya ada orang teriak: “WOOOOOOY BERISIIIIIIIIIIIK!!!!” oh iya, malam itu juga saya berulang tahun...Cuma jangkrik dan serangga malam yang memberi selamat ke saya dengan untaian orkestra khas suara malam mereka. Yang di Batam sepertinya lagi ngomel-ngomel karena hp saya mati kabeh hehehe
Jembatan Bambu
Kokok ayam kampung Jantan bersahutan dengan Kokok ayam hutan jantan,
saya pun bergegas keluar rumah, menjelang matahari terbit adalah saat yang
tidak boleh dilewatkan di Desa Gazebo, asap-asap yang mengepul anggun dari tiap
biliki dan atap ijuk rumah penduduk, menjadi kecantikan tersendiri dikala pagi,
siluet pohon dan tiang rumah menambah keindahan alami.
Suatu keharusan bagi saya untuk mendatangi jembatan bambu yang terkenal di Gazebo karena pembuatannya yang dikerjakan dalam waktu singkat, dan tidak menggunakan paku, hanya bambu, pasak kayu dan ijuk sebagai penguat, benar-benar menakjubkan. Pemandangan sekitar jembatan sangat indah dari sisi manapun, dari arah Gazebo ke arah sebrang sungai kita dapat melihat deretan lumbung yang berjajar rapi ditiap undakan bukit, dari arah lumbung ke Gazebo kita dapat melihat atap-atap rumah dan kabut pagi, tetaaaaapi jangan iseng ya motoin orang-orang yang mandi, apalagi melihat secara sengaja penduduk setempat tengah beraktivitas di sungai, selain ga sopan, bisa kena kualat, ga mau kan lensa tele 200-400 nya tiba-tiba jadi lemper? , jangan ya, HARUS Menghormati adat istiadat setempat, simplenya: TAHU DIRI.
Suatu keharusan bagi saya untuk mendatangi jembatan bambu yang terkenal di Gazebo karena pembuatannya yang dikerjakan dalam waktu singkat, dan tidak menggunakan paku, hanya bambu, pasak kayu dan ijuk sebagai penguat, benar-benar menakjubkan. Pemandangan sekitar jembatan sangat indah dari sisi manapun, dari arah Gazebo ke arah sebrang sungai kita dapat melihat deretan lumbung yang berjajar rapi ditiap undakan bukit, dari arah lumbung ke Gazebo kita dapat melihat atap-atap rumah dan kabut pagi, tetaaaaapi jangan iseng ya motoin orang-orang yang mandi, apalagi melihat secara sengaja penduduk setempat tengah beraktivitas di sungai, selain ga sopan, bisa kena kualat, ga mau kan lensa tele 200-400 nya tiba-tiba jadi lemper? , jangan ya, HARUS Menghormati adat istiadat setempat, simplenya: TAHU DIRI.
Selain Pemandangan alam, disekitar jembatan akan kita jumpai penduduk
yang lalu lalang untuk kegiatan sehari-hari dari rumah ke ladang, ke hutan atau
ke desa sebelah, itu pun menjadi daya tarik tersendiri untuk saya, keramahan
mereka, dan tradisi yang tetap berjalan menjadikan tempat ini harus tetap
lestari dan terjaga selalu, sayang...saya kaget bukan kepalang, saat itu mulai banyak
sekali sampah plastik bekas pembungkus makanan dibeberapa tempat, mulai dari
bekas mie instan sampai permen...hmm...bahkan saya lihat botol bekas air
mineral pun terlihat mengapung di Sungai (jika saya bersama teman-teman dari
picnicholic dan kempingcukstaw, saya yakin tanpa banyak ba bi bu mereka akan
memunguti sampah tersebut)
Desa Cibeo
Setelah puas mengabadikan moment dan memaki dalam hati melihat sampah
yang mulai berceceran disekitar jembatan bambu, saya kembali kerumah untuk menyiapkan
sarapan dan perbekalan untuk dijalan nanti. (tanpa bermaksud tinggi hati) beberapa kantong plastik isi sampah
yang sempat dikumpulkan saya titipkan ke pemilik rumah, akan saya bawa pulang
kembali ke Ciboleger saat kembali dari Cibeo, desa tempat tinggal Aldi dan
keluarga besarnya di Baduy Dalam.
Saya sangat menikmati kesunyian yang menemani saya dan Aldi menuju Desa
Cibeo, kebiasaan saya saat melakukan tracking, hiking atau sekedar jalan
menyusuri hutan, selalu memilih jalan didepan, bukan apa-apa, selain bisa
leluasa mengabadikan pemandangan sekitar, waktu istirahat pun jadi lebih lama
saat menunggu teman-teman lain menyusul.
Hampir dua jam kami berjalan menyusuri
hutan, bukit dan ladang, suasananya mulai berubah, banyak bukit yang mulai
gundul, saya sudah bisa menebak kenapa sampai gundul, kebutuhan akan kayu yang
sangat tinggi menjadikan beberapa orang membabat hutan tanpa memikirkan akibatnya,
dan rasanya cape ya kalau harus bahas ini...
Setibanya di Jembatan pembatas antara Baduy Luar dan Baduy Dalam, saya
dan Aldi berhenti menunggu rombongan, saya turuni jejakan batu menuju sungai,
menceburkan diri disana, sejuk sekali rasanya, hilang semua lelah yang menempel
dikaki, aldi pun melakukan hal yang sama. Setelah rombongan tiba dan
beristirahat, kami sempat duduk-duduk sebentar mengumpulkan tenaga, karena
didepan sana, tanjakan cinta menanti kami, ada yang juga menyebutnya tanjakan
Allahu Akbar, karena posisinya yang sangat menanjak dan medannya yang sangat
licin dikala hujan dan membuat orang (muslim) yang menapakinya akan teriak:
“Allahuuuuuuuuuuuu Akbaaaaar Ya Allah” hihihi tapi jembatan ini jugalah yang
dapat menguji kesetiaan dan cinta, lho kok? Begini ceritanya, dulu saat saya
masih bawa rombongan penikmat alam hehehe, ada dua sejoli yang sejak dari
meeting point kami di halaman parkir Masjid Pondok Indah, mereka selalu PDA
(Public Display of Affection) makan suap-suapan, keringetan usap-usapan, minum
pun saling tuang-tuangan, entahlah, apa saat mereka kembung juga mereka akan
kentut-kentutan hehehe, singkat kata, romi dan juli versi penikmat alam
menghadapi tanjakan cinta, sang romi berada didepan sang juli, saya tepat
berada didepan sang romi, setelah mendaki setengah tanjakan, juli tampak mulai
gak kuku, juli pun teriak manja: “mas...bebih, ayang...aku ga kuat...tarik aku
dong...aku ga bisa nih kayaknya...saya mesem-mesem sambil mikir, ih mesranyaw aw
aw aw...dan menunggu balasan si mas romi yang juga mulai keliatan senen-kemis
nafasnya, saya sudah menduga, si mas akan mengulurkan kegagahannya maksud saya
tangannya ke juli, tapi yang terjadi sungguh diluar dugaaan,alih-alih menolong,
si romi malah menjawa: “aduuuh kamu tuh nyusahin banget sih, gak liat saya juga
susah payah? Cinta sih cinta, tapi dengkul sama kaki saya ga kenal cinta, udah
usaha sendiri deh” lalu si romi berkata ke saya: “mas tulung tarikin saya dong,
saya udah ga kuat” huahahahahahahahaha saya ga bisa nahan ketawa, saya ngakak,
si romi sih ga peduli, si juli ngomel-ngomel sambil jerit-jerit, begitulah,
kadang cinta hanya dibibir saja ya... *jorogin romi ke sungai..
Menjelang Maghrib kami tiba di Baduy Dalam, Desa Cibeo, hujan masih terus
turun, pemandangan khas desa Cibeo didepan mata saya, sebelum masuk ke desa,
kita akan disambut kumpulang lumbung tepat di dekat gerbang desa, suasana
mistis sangat kuat terasa disekitar lumbung yang dikelilingi hutan, namun
setelah melewati itu, kita akan disambut jembatan bambu menuju desa, tepat
dibawahnya mengalir sungai yang saat itu warnanya tetap jernih meskipun tengah
hujan, tapi sayangnya jalan sekitar rumah penduduk menjadi becek karena tanah
yang menjadi lumpur akibat air hujan yang turun dan bersatu dengan tanah, jika
salah memilih batu pijakan, bukan tidak mungkin pantatmu akan mencium tanah.
Mini-Mart di Cibeo
Kaget, speechless saat saya melihat ada tukang jajanan aneka rupa tepat
didepan rumah Aldi, ini baduy dalam, kenapa penjaja makanan ini berdagang
disini? Tanpa bermaksud buruk, saya hanya sedih, dimana keaslian baduy dalam
jika kita bisa menemukan permen atau makanan penuh gula yang mati-matian kita
larang untuk keponakan atau anak teman kita di Jakarta tetapi disini, di Baduy
Dalam, anak-anak ini dengan mudahnya mendapatkan cemilan tersebut, belum lagi
bekas bungkusnya yang tercecer dimana mana. Apa yang saya dambakan tentang
suasana di Baduy Dalam berubah perlahan, berganti dengan berjuta pertanyaan,
dan yang paling sering terpikirkan adalah: “kenapa ada tukang jualan didalam?”
don’t get me wrong, akan sangat senangnya saat kita berada ditempat yang
terisolasi dengan suasana yang mendukung, kegelapan yang menenangkan, berbagi
makan malam dan siang dengan lauk yang sama bersama penduduk dan makanan yang
kita bawa, bukan dengan jajanan yang 24 jam ada di Baduy Dalam. Tanpa bermaksud
merendahkan atau tetap menginginkan mereka dalam keterbelakangan pangan, tapi
saya pribadi akan lebih senang melihat anak-anak disini ngemil buah jambu atau
pisang ketimbang mereka sibuk mengunyah jajanan ber-msg atau manisan penuh gula
dengan warna semerah pewarna pakaian. Sedih? Saya sangat sedih.
00.0
01 Januari 2013
Happy Besday to me, saya masih menyimpan dan tetap membawa golok kecil
pemberian seorang sahabat di Baduy Dalam, tak lupa dia pun mendoakan agar
kehidupan saya nantinya jauh lebih baik dan selalu dalam lindungan Tuhan, Amin.
Dan doa saya malam itu adalah: semoga Tuhan selalu menjaga keindahan daerah
ini, menyentuh hati agar setiap pengunjung mau lebih sadar tentang pentingnya
arti kebersihan, adat istiadat, dan arti kesederhanaan, buat apa memaksakan
diri jauh-jauh datang ke Baduy dalam tapi masih memanjakan diri dengan atribut
kota dan mengeluhkan semua keterbatasan yang ada didalam sini, percuma saja,
lebih baik jangan kesini jika nantinya malah merubah tradisi yang ada.
Malam itu saya habiskan sendirian ditepian sungai dengan merendam kaki
disungai menikmati senyap dan pekat sampai jam 2, bukan ngelmu ya, apalagi
tapa, kaga di elmu-in aja dia udah klepek-klepek kok hahahaha
Setelah selesai sarapan, saya berpamitan ke Aldi dan beberapa sahabat
di Baduy Dalam, saya menuju Gazebo, saya sempat bilang ke teman-teman saya,
kalau saya akan ngebut duluan karena ga tahan buang hajat, walau sejujurnya
saya ingin cepat-cepat kembali ke Gazebo, apa yang saya lihat di Baduy Dalam,
benar-benar menyedihkan hati saya, semoga saja situasinya segera kembali
seperti dulu.
Tepat tengah hari saya tiba di Gazebo, setelah mengambil “titipan”
saya, saya pun menunggu rombongan, kurang lebih selisih perjalanan saya sekitar 30 menit dengan mereka, akhirnya
kami berkumpul kembali dan bersiap menuju Ciboleger kembali, sambil packing ulang, saya sempatkan diri berkeliling ke sekitar Gazebo, menyaksikan anak-anak kecil bercengkrama, dan takjub sejenak melihat para ibu muda tengah menenun dengan peralatan tenun tradisional, dan benar-benar cantik hasil kainnya, saya sempatkan membeli beberapa untuk oleh-oleh teman di Jakarta. saat perjalanan menuju Ciboleger, Alhamdulillah,
cuaca sangat mendukung, tidak terlalu panas dan cenderung berawan, maka waktu
tempuh kami pun menjadi lebih cepat.
Kembali Ke realita
Kendaraan yang akan membawa kami ke stasiun Rangkasbitung sudah mulai
memanggil-manggil kami, bergegas pamitan ke Ibu Haji pemilik rumah makan,
berpamitan ke Aldi dan sahabt-sahabat dari Baduy dalam yang telah menemani kami
selama kami di Rumah mereka dan tentunya sepanjang perjalanan yang kami tempuh,
tanpa mereka, saya akan lebih sulit sampai kesana.
Lambaian tangan dan harapan mulia dari Aldi agar saya kembali ke Baduy
perlahan hilang seiring lajunya kendaraan yang membawa saya dan rombongan
kembali ke Stasiun Rangkasbitung. Sepanjang perjalanan kepala saya berpikir
banyak hal; Baduy Dalam, Sungai, tukang
jajan, sampah-sampah disepanjang jalan, sesal tiada tara bahwa saya pernah
menjadi orang yang mempromosikan Baduy hingga akhirnya Baduy ramai seperti
sekarang. Doa saya, semoga kelak teman-teman yang hendak mengunjungi Baduy,
dapat saling mengingatkan untuk tetap menjaga kebersihan dan tidak meninggalkan
apapapun kecuali jejak kaki di setiap jengkal wilayah Baduy luar dan Baduy
Dalam, karena kalau boleh meminjam motto dari commercial di TV yang sudah
terkenal “Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi?!”
Jakarta
Kembali di Stasiun Tanah Abang, sesook wajah yang sudah saya kenal
sudah berada disana, celingukan penuh was-was dan harap, semoga saja yang
dijemputnya tiba tepat waktu, begitu kira-kira penafsiran saya melihat dia,
saya pun langsung teriak memanggil namanya; “KYUUUU KYUUUUU, WOOOOY Umar
WOOOOY, hehehehe kayak mau nyopet aje celingak celinguk, nih tolong bawain ya
Tasnya, lumayan deh tuh hehehe, umar dengan sigapnya menggendong tas saya,
mukanya terlihat menahan berat, tapi tidak ada keluhan atau protes yang keluar
dari mulutnya, melainkan beberapa pertanyaan, sebagian sepertinya “pertanyaan
titipan” “ saya pikir mas becanda lho mau ke Baduy, ditanyain boss terus, hp
mas kata boss mati ya? Disana ga ada
signal ya mas? Tidurnya gimana mas disana?” begitu kira2 tanyanya, saya jawab
seenak jidat saya; “boro-boro signal, towernya aja kaga ada mar, klu hp saya
idup trus jalan sendiri di Baduy sih serem ya namanya, tidur disana sama aja
ama disini, sama-sama merem mar”, umar
hanya mesem-mesem, langkahnya menuntun saya menuju parkiran. Setelah didalam
kendaraan, saya kembali terdiam, pikiran saya masih di Baduy Dalam...sekali
lagi doa saya dalam hati: “semoga mereka yang akan datang ke Baduy sudah sadar
lingkungan semua” sebelum umar banyak tanya lagi dan saya naik pitam, saya
pura-pura tidur sepanjang perjalanan menuju rumah hehehe. Baduy...terima kasih
atas perjalanan dan tempat tinggalnya, semoga kelak kita berjumpa lagi.
*Special Thanks buat Kang Aldi dari Baduy dalam dan rombongan
teman-teman dari UGM yang saya lupa namanya, terima kasih sudah menemani saya
dan menjadi teman baru saya,
juga untuk teman-teman blogger yang namanya saya cantumkan pada photo:
Stasiun Tanah Abang, Stasiun Rangkasbitung, Terminal Ciboleger, kebetulan sekali saya belum charge kamera (kebiasaan yang jangan ditiru) jadi tidak dapat mengabadikan ketiga tempat tersebut.
juga untuk teman-teman blogger yang namanya saya cantumkan pada photo:
Stasiun Tanah Abang, Stasiun Rangkasbitung, Terminal Ciboleger, kebetulan sekali saya belum charge kamera (kebiasaan yang jangan ditiru) jadi tidak dapat mengabadikan ketiga tempat tersebut.
No comments:
Post a Comment