Monday 14 April 2014

Baduy, December akhir 2012


“Terkadang Cinta harus ditempa dalam sepi, rindu dikuatkan dalam sendiri dan rasa percaya diuji dalam jarak” (MCKY)

Suatu sore di Jakarta menjelang tahun baru 2013,

Awab: “kamu gak papa kan malem tahun baruan sendirian? Atau kamu bisa balik ke Menteng atau sama teman-teman kantor kamu aja tahun Baruannya”
Saya: “saya ke Baduy ya, gimana?”
Awab: “mau nguatin jimat ya? Hehehe, sama siapa?”
Saya: “sendiri”
Awab: “are you ok?”
Saya: “saya kirimin fotonya nanti, take care ya, good luck with your event there, keep in touch”
Awab: “kabari saya ya kamu jadinya kemana, jangan aneh-aneh ke Baduy, lagi musim hujan, ok? Kok diam?
Saya: “i’m nodding”
Awab: “ yo wis, take care ya.. ay lop yuh” (cieeee elaaaah)
Saya: “ay lop yu puuuuul” (prikitiiiiiiiiiiiiiw)

Klik...sambungan telepon antara saya dan dia terputus, hmm...hari itu December 28 2012, dia tengah tugas negara ke Batam, ada wong sugih disana yang mengawinkan anaknya, sebagai penghulu, eits maksudnya WO, dia melakukan tugasnya untuk membantu mengatur acara pernikahan keluarga tersebut dan pastinya demi berlian yang sekarang menemani saya nulis jurnal terntang perjalanan saya ke Baduy ini hehehe..

Minggu, 30 December 2012
07.00 Pagi, saya sendirian di rumah, teman-teman sudah punya rencana sendiri-sendiri untuk malam tahun baruan, hmm jangan sampe saya niup terompet sampe jontor besok malam sendirian, apa kata orang rumah a.k.a orang belakang (saya lagi males pulang ke Bogor, hmpfh biasalah males dengan pertanyaan basi dari tetangga, udah 2013 nih, kapan kawin? Males kaaaaaan...emangnya kalau saya kawin harus bilang-bilang, lha wong baru pacaran aja namanya sudah cinta terlarang, gimana kalau kawin? Apa namanya? *emosi, okeh lanjut. Tanpa banyak pertimbangan saya ambil tas kamera,saya  isi semua perlengkapan kamera kedalam tas lalu saya pandangi setelah selesai packing, wah wah wah keren banget nih keliatannya, saya pun coba memakai tas tersebut dan ternyata..buseeeeeet beraaaat bangeeeeet, macam bawa babi hutan dewasa setengah sadar dipunggung (kalau si bagong digendong dalam keadaan isdet lebih berat, eh kok jd babi sih?). tapi demi tidak melewatkan moment di Baduy nanti, saya rela membawa peralatan itu semua dan artinya harus membawa traveling bag untuk bawa pakaian (karena pergi sendiri tanpa teman2 centil jadi saya hanya bawa pakain secukupnya  hehehe).


Photo courtesy of wikimapia.org

Stasiun Tanah Abang
Selesai dengan packing yang hanya memakan waktu satu jam, saya segera meluncur ke Stasiun Kereta Tanah Abang, sebuah kenangan terlintas disana, kenangan akan saya dan beberapa sahabat sebelas tahun yang lalu, moment dimana saya bertemu mereka, moment dimana kami masih... ah sudahlah, daripada mengundang kepo dari pembaca yang kurang kerjaan, kita lanjut lagi...oke? sampai Stasiun Kereta Jam 09.00 Pagi, suasana khas stasiun sudah mulai terlihat, apalagi saat itu menjelang tahun baru, otomatis penuhnya cihuy abis (plus muka-muka mencurigakan dari para pencopet, jadi saat momen seperti ini kita harus tetap waspada ya). Setelah tiket ditangan, saya menuju peron tujuan saya, HP saya bergetar, saya buka sebuah pesan SMS masuk dari teman saya Molina Silalahi, Bandar Tupperware Se Sumatera Utara, isinya: “min, (min, kependekan dari mimin, sarimin, panggilan sayang dari teman-teman dikantor saya, cih) beneran ke Baduy? Hati-hati ya min” saya balas dengan pesan singkat (Molina adalah salah satu teman backpacking saya,  kami sempat satu kantor, sayang dia memilih pulang ke Medan untuk membantu usaha keluarga, niat yang patut diacungi jempol, walaupun resikonya buat dia adalah: peluang mendapatkan jodoh jadi sangaaaaat keciiiil sekali karena disana minim lelaki yang sesuai kriteria dia, *bah makanya jangan ketinggian laeeee hehehe peace mol)

Kereta Api
Setelah berusaha masuk kedalam kereta yang penuh dengan calon penumpang yang sangat agresif, saya berhasil mendapatkan tempat duduk yang nyaman...lebih tepatnya duduk dilantai gerbong kereta hehehe, maklum, saat itu kereta tujuan Rangkasbitung memang masih kelas Ekonomi, jadi begitulah adanya. Setelah dua jam menempuh perjalanan, kereta sudah memasuki daerah Rangkas, saya sempat tertidur tapi merasakan suatu kehangatan yang menjalar keseputar bokong yang saya duduk dilantai, apakah gerangan? Setelah saya tengok ke sumber kehangatan, rupanya ada anak kecil yang lagi pipis dibelakang saya, ibunya cuek ngupil, bapaknya mangap dibuai alam mimpi, bah...apa mau dikata, saat itu saya hanya bisa senyum-senyum sendiri, (boong sih, saya pelototin itu anak, sambil misuh-misuh dalam hati: kampret)

Sekitar jam 13.15 kereta tiba di Stasiun Rangkasbitung, keramaian khas pasar yang membaur dengan hiruk pikuk stasiun menjadi satu, bahkan lokasi terminal yang tidak jauh letaknya dari stasiun, membuat keramaian dan tentunya kemacetan makin menjadi jadi. Terdorong hasrat ingin pipis, saya pun berlari mencari toilet umum yang searah dengan terminal. Tepat didepan WC umum, saya bertemu lagi dengan si anak kecil yang tadi pipisin saya dikereta, “ih lucu banget deh kamu”, begitu sapa saya ke dia...(*bohong banget, padahal melototin lagi hehehe)

Photo Courtesy of cocoalhilal.wordpress.com
Terminal Rangkasbitung
Terminal Rangkasbitung, dulu mobil angkutan suzuki elf jurusan Rangkasbitung – Ciboleger (Desa base pertama di kawasan Baduy Luar) banyak terdapat di pintu keluar stasiun, tapi sekarang kita harus naik angkot terlebih dahulu ke terminal luar, saya lupa namanya apa, tapi ongkos yang saya keluarkan saat itu 3000 rupiah dari terminal Rangkasbitung ke terminal tersebut. Sesampainya di terminal, saya langsung menuju mobil elf jurusan Ciboleger, beruntungnya saya, jumlah penumpangnya tidak terlalu banyak, jadi saya bisa simpan tas kamera yang beratnya sudah bikin punggung ini mati rasa macam melihat undangan kawin dari mantan  pacar di kursi sebelah saya. Baru saja saya merasakan kenikmatan dunia sesaat, naiklah dua orang pemuda masa kini, yang kalau dilihat dari penampilannya, mereka hendak pulang ke kampung dari Jakarta, dan dari aroma parfum yang dipakainya, sepertinya mereka hendak bikin mabok orang satu kampung, karena baru beberapa menit disamping mereka, saya jadi ikutan wangi, mana baunya kayak kuburan baru...tepatnya bau kembang tujuh rupa, ditambah kaca jendela yang ikutan manja, kacanya hanya bisa dibuka setengah, saat itu saya hanya bisa berdoa, semoga mereka turun secepatnya, atau saya tidur secepatnya, tapi sayang...Tuhan ingin mereka menemani saya yang terjaga sepanjang perjalanan sampai Ciboleger.

Ciboleger
Sesampainya di Ciboleger, saya yang nyaris pingsan karena aroma kembang setaman  dua sekawan tadi akhirnya bisa menghirup udara segar, hujan yang merintik seolah menyambut saya kembali disini, tahun 2005 yang lalu saya terakhir kesini.

 “Dan sedih itu menyeruak bagaikan pencuri ditengah malam, datang tanpa permisi”

Photo courtesy of: umahbadak.blogspot.com

Saya pandangi sekeliling terminal Ciboleger tersebut, kilasan moment saya dan teman-teman  beberapa tahun yang lalu keluar, kami berkumpul didepan tugu, spanduk bertuliskan nama rombongan kami, senyum dan tawa kami mengisi siang yang terik, juga pelukan erat penuh keakraban antar sahabat yang saat itu terjalin, lalu semua itu berlalu, berganti dengan hilangnya kontak diantara kami, dan tugu selamat datang khas Ciboleger masih kokoh berdiri, seolah olah memandangi dan bertanya: “mickey, mengapa kali ini datang sendiri?” Dalam hati, saya pun hanya bisa bertanya sendiri...tanpa pernah bisa menjawab lagi

“Teman datang dan pergi
“Sahabat tetap menemani
“Jarak tak akan berarti
“Karena sahabat tercipta dalam hati

Hujan makin deras, saya pun berlari menuju rumah makan Ibu Haji, rumah makan yang sudah ada sejak pertama kali saya ke Ciboleger, tahun 2001. Satu hal yang membuat saya betah dan senang untuk datang kembali, Ibu selalu mengingat saya, hafal dengan nama saya, dan ingat saya makan apa aja walau banyak pengunjung lain yang juga makan hehehe. Setelah bertanya kabar dan bersalaman, lalu si Ibu pun bertanya:  “den miki kok sendiri? Mana teman2nya? Kok jadi sendiri-sendiri sih ka Baduynya, bulan lalu si anu juga sendiri, awal tahun lalu si ono juga sendiri, pada sibuk ya? Ibu memberondong saya dengan pertanyaan yang hanya saya jawab dua kata: “oh ya?” dan saya langsung mengalihkan pertanyaan ibu, ngeles macam bajaj belok diperempatan, saya alihkan pertanyaannya ke makanan, selain itu saya juga memang lapar, dan harus secepatnya ganti celana, karena limbah kebocoran dari pipa si anak lucu dikereta siang tadi, mulai mengeluarkan aroma yang tak kalah aduhaynya dengan aroma khas sang duo pemuda maut sebelumnya...




“kembali menapaki jalan ini
“rasakan jejak dalam memori
“mengingat senyum dan tawa dalam imaji
“sekilas rindu menyeruak dalam hati
“akankah mereka kembali?

Hujan masih turun, jam di arloji saya menunjukan waktu 17:02, saya harus segera naik ke Gazebo, Desa Baduy luar, perjalanan yang bisa ditempuh dalam waktu 45 menit saat cuaca cerah, bisa saja jadi lebih lama karena hujan, belum lagi saya harus meminta izin terlebih dahulu kepada Jaro di Ciboleger, jarak dari rumah makan Ibu Haji ke rumah Jaro tidak terlalu jauh. Saat hendak membayar makanan, saya berkenalan dengan satu rombongan yang hendak merayakan tahun baru di Baduy Dalam, mereka cukup kaget begitu tahu saya datang sendirian, (hehehe jangankan sampean, lha saya juga kaget bisa nyampe sini sendirian) dan kami pun bersama-sama menuju rumah Jaro untuk izin menginap di wilayah Desa Gazebo (baduy luar) dan Desa Cibeo (baduy dalam). Perizinan selesai, kami langsung menuju Desa Gazebo.

“Disini ditepi batas
Menyapa tanpa semangat
Baru kali ini maksa bawa tas
Yang beratnya teramat amat sangat”



Katakanlah saya drama, tapi sepanjang perjalanan menuju Desa Gazebo saya habiskan dengan menikmati kesunyian berteman perkebunan dan bukit tanpa banyak bicara dengan rombongan, mungkin mereka pun berpikir saya mau cari jimat atau pengasihan, pakaian serba hitam, muka ditekuk, lebih banyak diam, sedikit senyum dan lebih banyak berhenti setiap ada pohon besar, tapi jujur, itu semua karena saya sebenarnya ingin sekali melempar tas kamera saya yang beratnya mungkin sama dengan anak yang tadi pipisin saya di kereta (*masih dendam), saya berhenti di pohon besar untuk sandaran, sedikit senyum karena saya sudah ga tahan dengan beratnya.


Setelah hampir pengsan karena tas saya yang makin memberatkan hidup saya, yang beratnya macam memaksakan hubungan walau situasi dan kondisinya sudah semakin parah (ih kok malah ke perasaan sih?) lalu Pucuk dicinta ulam tiba, Aldi, seorang kawan lama saya dari Baduy Dalam datang, melihat Aldi seperti melihat awab didalam butik Prada saat end of season sale, dibayariiiin horeeee (oops) maksudnya...karena Aldi akan membantu saya menghandle tas keparat itu dengan senang hati, begitu tas berpindah punggung, saya pun langsung jepret kanan jepret kiri, langsung ikrib satu persatu dengan teman-teman satu rombongan, walau sekilas saya sempat lihat Aldi kerepotan dengan tas berat itu hehehe maaf ya di jadi ngerepotin.

Satu jam lamanya perjalanan yang kami tempuh menuju Desa Gazebo dari Ciboleger, sambil beristirahat dirumah salah satu penduduk yang sudah saya kenal lama (dan jadi tempat menginap saya dan teman-teman), saya dan Aldi ngobrol ngalur ngidul, herannya aldi tidak menanyakan hal yang ditanyakan Ibu haji sebelumnya; kenapa saya datang sendiri?mungkin aldi sudah tahu,  atau mungkin Aldi sudah hapal, kalau temannya yang dari Jakarta ini memang sudah ga waras hehehe..atau mungkin aldi lelah karena tas keparat itu...



Gazebo
Setelah mandi dan bersih-bersih, saya memberikan bekal yang saya bawa untuk dinikmati bersama dengan rombongan saya dan tuan rumah, kehangatan dan kebersamaan selalu tercipta pada saat makan malam dengan gaya ngariung (ngariung: bahasa sunda, artinya berkumpul bersama sama, biasanya membentuk suatu lingkaran dengan posisi duduk bersila untuk lelaki dan bersimpuh untuk perempuan) menu kita malam itu, sarden masak cabe ijo dan indomie rebus telur ancur lebur, dengan nasi yang beraroma harum khas Baduy, Alhamdulillah, nikmat sekali rasanya. Selesai makan, kami keluar dan duduk santai ngobrol ngibril di teras rumah panggung khas Baduy, memandang langit berpurnama, berhias kabut tipis sampai terus mengantar malam yang semakin larut. 



Setelah puas bercengkrama, kami pun masing-masing berpamitan untuk beristirahat, saya tidak tidur cepat malam itu, kepala saya kembali memutar kenangan saat saya dan teman-teman saya dulu disini, ah seandainya saja saat ini bersama mereka, pasti ada tawa menjelang tidur, ada canda pengantar mimpi...dan pastinya ada orang teriak: “WOOOOOOY BERISIIIIIIIIIIIK!!!!” oh iya, malam itu juga saya berulang tahun...Cuma jangkrik dan serangga malam yang memberi selamat ke saya dengan untaian orkestra khas suara malam mereka. Yang di Batam sepertinya lagi ngomel-ngomel karena hp saya mati kabeh hehehe




Jembatan Bambu
Kokok ayam kampung Jantan bersahutan dengan Kokok ayam hutan jantan, saya pun bergegas keluar rumah, menjelang matahari terbit adalah saat yang tidak boleh dilewatkan di Desa Gazebo, asap-asap yang mengepul anggun dari tiap biliki dan atap ijuk rumah penduduk, menjadi kecantikan tersendiri dikala pagi, siluet pohon dan tiang rumah menambah keindahan alami. 



Suatu keharusan bagi saya untuk mendatangi jembatan bambu yang terkenal di Gazebo karena pembuatannya yang dikerjakan dalam waktu singkat, dan tidak menggunakan paku, hanya bambu, pasak kayu dan ijuk sebagai penguat, benar-benar menakjubkan. Pemandangan sekitar jembatan sangat indah dari sisi manapun, dari arah Gazebo ke arah sebrang sungai kita dapat melihat deretan lumbung yang berjajar rapi ditiap undakan bukit, dari arah lumbung ke Gazebo kita dapat melihat atap-atap rumah dan kabut pagi, tetaaaaapi jangan iseng ya motoin orang-orang yang mandi, apalagi melihat secara sengaja penduduk setempat tengah beraktivitas di sungai, selain ga sopan, bisa kena kualat, ga mau kan lensa tele 200-400 nya tiba-tiba jadi lemper? , jangan ya, HARUS Menghormati adat istiadat setempat, simplenya: TAHU DIRI.

Selain Pemandangan alam, disekitar jembatan akan kita jumpai penduduk yang lalu lalang untuk kegiatan sehari-hari dari rumah ke ladang, ke hutan atau ke desa sebelah, itu pun menjadi daya tarik tersendiri untuk saya, keramahan mereka, dan tradisi yang tetap berjalan menjadikan tempat ini harus tetap lestari dan terjaga selalu, sayang...saya kaget bukan kepalang, saat itu mulai banyak sekali sampah plastik bekas pembungkus makanan dibeberapa tempat, mulai dari bekas mie instan sampai permen...hmm...bahkan saya lihat botol bekas air mineral pun terlihat mengapung di Sungai (jika saya bersama teman-teman dari picnicholic dan kempingcukstaw, saya yakin tanpa banyak ba bi bu mereka akan memunguti sampah tersebut)


Desa Cibeo
Setelah puas mengabadikan moment dan memaki dalam hati melihat sampah yang mulai berceceran disekitar jembatan bambu, saya kembali kerumah untuk menyiapkan sarapan dan perbekalan untuk dijalan nanti. (tanpa bermaksud tinggi hati) beberapa kantong plastik isi sampah yang sempat dikumpulkan saya titipkan ke pemilik rumah, akan saya bawa pulang kembali ke Ciboleger saat kembali dari Cibeo, desa tempat tinggal Aldi dan keluarga besarnya di Baduy Dalam.
Saya sangat menikmati kesunyian yang menemani saya dan Aldi menuju Desa Cibeo, kebiasaan saya saat melakukan tracking, hiking atau sekedar jalan menyusuri hutan, selalu memilih jalan didepan, bukan apa-apa, selain bisa leluasa mengabadikan pemandangan sekitar, waktu istirahat pun jadi lebih lama saat menunggu teman-teman lain menyusul. 




Hampir dua jam kami berjalan menyusuri hutan, bukit dan ladang, suasananya mulai berubah, banyak bukit yang mulai gundul, saya sudah bisa menebak kenapa sampai gundul, kebutuhan akan kayu yang sangat tinggi menjadikan beberapa orang membabat hutan tanpa memikirkan akibatnya, dan rasanya cape ya kalau harus bahas ini...



Setibanya di Jembatan pembatas antara Baduy Luar dan Baduy Dalam, saya dan Aldi berhenti menunggu rombongan, saya turuni jejakan batu menuju sungai, menceburkan diri disana, sejuk sekali rasanya, hilang semua lelah yang menempel dikaki, aldi pun melakukan hal yang sama. Setelah rombongan tiba dan beristirahat, kami sempat duduk-duduk sebentar mengumpulkan tenaga, karena didepan sana, tanjakan cinta menanti kami, ada yang juga menyebutnya tanjakan Allahu Akbar, karena posisinya yang sangat menanjak dan medannya yang sangat licin dikala hujan dan membuat orang (muslim) yang menapakinya akan teriak: “Allahuuuuuuuuuuuu Akbaaaaar Ya Allah” hihihi tapi jembatan ini jugalah yang dapat menguji kesetiaan dan cinta, lho kok? Begini ceritanya, dulu saat saya masih bawa rombongan penikmat alam hehehe, ada dua sejoli yang sejak dari meeting point kami di halaman parkir Masjid Pondok Indah, mereka selalu PDA (Public Display of Affection) makan suap-suapan, keringetan usap-usapan, minum pun saling tuang-tuangan, entahlah, apa saat mereka kembung juga mereka akan kentut-kentutan hehehe, singkat kata, romi dan juli versi penikmat alam menghadapi tanjakan cinta, sang romi berada didepan sang juli, saya tepat berada didepan sang romi, setelah mendaki setengah tanjakan, juli tampak mulai gak kuku, juli pun teriak manja: “mas...bebih, ayang...aku ga kuat...tarik aku dong...aku ga bisa nih kayaknya...saya mesem-mesem sambil mikir, ih mesranyaw aw aw aw...dan menunggu balasan si mas romi yang juga mulai keliatan senen-kemis nafasnya, saya sudah menduga, si mas akan mengulurkan kegagahannya maksud saya tangannya ke juli, tapi yang terjadi sungguh diluar dugaaan,alih-alih menolong, si romi malah menjawa: “aduuuh kamu tuh nyusahin banget sih, gak liat saya juga susah payah? Cinta sih cinta, tapi dengkul sama kaki saya ga kenal cinta, udah usaha sendiri deh” lalu si romi berkata ke saya: “mas tulung tarikin saya dong, saya udah ga kuat” huahahahahahahahaha saya ga bisa nahan ketawa, saya ngakak, si romi sih ga peduli, si juli ngomel-ngomel sambil jerit-jerit, begitulah, kadang cinta hanya dibibir saja ya... *jorogin romi ke sungai..

Menjelang Maghrib kami tiba di Baduy Dalam, Desa Cibeo, hujan masih terus turun, pemandangan khas desa Cibeo didepan mata saya, sebelum masuk ke desa, kita akan disambut kumpulang lumbung tepat di dekat gerbang desa, suasana mistis sangat kuat terasa disekitar lumbung yang dikelilingi hutan, namun setelah melewati itu, kita akan disambut jembatan bambu menuju desa, tepat dibawahnya mengalir sungai yang saat itu warnanya tetap jernih meskipun tengah hujan, tapi sayangnya jalan sekitar rumah penduduk menjadi becek karena tanah yang menjadi lumpur akibat air hujan yang turun dan bersatu dengan tanah, jika salah memilih batu pijakan, bukan tidak mungkin pantatmu akan mencium tanah.

Mini-Mart di Cibeo
Kaget, speechless saat saya melihat ada tukang jajanan aneka rupa tepat didepan rumah Aldi, ini baduy dalam, kenapa penjaja makanan ini berdagang disini? Tanpa bermaksud buruk, saya hanya sedih, dimana keaslian baduy dalam jika kita bisa menemukan permen atau makanan penuh gula yang mati-matian kita larang untuk keponakan atau anak teman kita di Jakarta tetapi disini, di Baduy Dalam, anak-anak ini dengan mudahnya mendapatkan cemilan tersebut, belum lagi bekas bungkusnya yang tercecer dimana mana. Apa yang saya dambakan tentang suasana di Baduy Dalam berubah perlahan, berganti dengan berjuta pertanyaan, dan yang paling sering terpikirkan adalah: “kenapa ada tukang jualan didalam?” don’t get me wrong, akan sangat senangnya saat kita berada ditempat yang terisolasi dengan suasana yang mendukung, kegelapan yang menenangkan, berbagi makan malam dan siang dengan lauk yang sama bersama penduduk dan makanan yang kita bawa, bukan dengan jajanan yang 24 jam ada di Baduy Dalam. Tanpa bermaksud merendahkan atau tetap menginginkan mereka dalam keterbelakangan pangan, tapi saya pribadi akan lebih senang melihat anak-anak disini ngemil buah jambu atau pisang ketimbang mereka sibuk mengunyah jajanan ber-msg atau manisan penuh gula dengan warna semerah pewarna pakaian. Sedih? Saya sangat sedih.

00.0      01 Januari 2013
Happy Besday to me, saya masih menyimpan dan tetap membawa golok kecil pemberian seorang sahabat di Baduy Dalam, tak lupa dia pun mendoakan agar kehidupan saya nantinya jauh lebih baik dan selalu dalam lindungan Tuhan, Amin. Dan doa saya malam itu adalah: semoga Tuhan selalu menjaga keindahan daerah ini, menyentuh hati agar setiap pengunjung mau lebih sadar tentang pentingnya arti kebersihan, adat istiadat, dan arti kesederhanaan, buat apa memaksakan diri jauh-jauh datang ke Baduy dalam tapi masih memanjakan diri dengan atribut kota dan mengeluhkan semua keterbatasan yang ada didalam sini, percuma saja, lebih baik jangan kesini jika nantinya malah merubah tradisi yang ada.
Malam itu saya habiskan sendirian ditepian sungai dengan merendam kaki disungai menikmati senyap dan pekat sampai jam 2, bukan ngelmu ya, apalagi tapa, kaga di elmu-in aja dia udah klepek-klepek kok hahahaha


Setelah selesai sarapan, saya berpamitan ke Aldi dan beberapa sahabat di Baduy Dalam, saya menuju Gazebo, saya sempat bilang ke teman-teman saya, kalau saya akan ngebut duluan karena ga tahan buang hajat, walau sejujurnya saya ingin cepat-cepat kembali ke Gazebo, apa yang saya lihat di Baduy Dalam, benar-benar menyedihkan hati saya, semoga saja situasinya segera kembali seperti dulu.

Tepat tengah hari saya tiba di Gazebo, setelah mengambil “titipan” saya, saya pun menunggu rombongan, kurang lebih selisih perjalanan saya sekitar 30 menit dengan mereka, akhirnya kami berkumpul kembali dan bersiap menuju Ciboleger kembali, sambil packing ulang, saya sempatkan diri berkeliling ke sekitar Gazebo, menyaksikan anak-anak kecil bercengkrama, dan takjub sejenak melihat para ibu muda tengah menenun dengan peralatan tenun tradisional, dan benar-benar cantik hasil kainnya, saya sempatkan membeli beberapa untuk oleh-oleh teman di Jakarta. saat perjalanan menuju Ciboleger, Alhamdulillah, cuaca sangat mendukung, tidak terlalu panas dan cenderung berawan, maka waktu tempuh kami pun menjadi lebih cepat.




Kembali Ke realita
Kendaraan yang akan membawa kami ke stasiun Rangkasbitung sudah mulai memanggil-manggil kami, bergegas pamitan ke Ibu Haji pemilik rumah makan, berpamitan ke Aldi dan sahabt-sahabat dari Baduy dalam yang telah menemani kami selama kami di Rumah mereka dan tentunya sepanjang perjalanan yang kami tempuh, tanpa mereka, saya akan lebih sulit sampai kesana.

Lambaian tangan dan harapan mulia dari Aldi agar saya kembali ke Baduy perlahan hilang seiring lajunya kendaraan yang membawa saya dan rombongan kembali ke Stasiun Rangkasbitung. Sepanjang perjalanan kepala saya berpikir banyak hal;  Baduy Dalam, Sungai, tukang jajan, sampah-sampah disepanjang jalan, sesal tiada tara bahwa saya pernah menjadi orang yang mempromosikan Baduy hingga akhirnya Baduy ramai seperti sekarang. Doa saya, semoga kelak teman-teman yang hendak mengunjungi Baduy, dapat saling mengingatkan untuk tetap menjaga kebersihan dan tidak meninggalkan apapapun kecuali jejak kaki di setiap jengkal wilayah Baduy luar dan Baduy Dalam, karena kalau boleh meminjam motto dari commercial di TV yang sudah terkenal “Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi?!”

Jakarta
Kembali di Stasiun Tanah Abang, sesook wajah yang sudah saya kenal sudah berada disana, celingukan penuh was-was dan harap, semoga saja yang dijemputnya tiba tepat waktu, begitu kira-kira penafsiran saya melihat dia, saya pun langsung teriak memanggil namanya; “KYUUUU KYUUUUU, WOOOOY Umar WOOOOY, hehehehe kayak mau nyopet aje celingak celinguk, nih tolong bawain ya Tasnya, lumayan deh tuh hehehe, umar dengan sigapnya menggendong tas saya, mukanya terlihat menahan berat, tapi tidak ada keluhan atau protes yang keluar dari mulutnya, melainkan beberapa pertanyaan, sebagian sepertinya “pertanyaan titipan” “ saya pikir mas becanda lho mau ke Baduy, ditanyain boss terus, hp mas kata boss mati ya?  Disana ga ada signal ya mas? Tidurnya gimana mas disana?” begitu kira2 tanyanya, saya jawab seenak jidat saya; “boro-boro signal, towernya aja kaga ada mar, klu hp saya idup trus jalan sendiri di Baduy sih serem ya namanya, tidur disana sama aja ama disini, sama-sama merem mar”,  umar hanya mesem-mesem, langkahnya menuntun saya menuju parkiran. Setelah didalam kendaraan, saya kembali terdiam, pikiran saya masih di Baduy Dalam...sekali lagi doa saya dalam hati: “semoga mereka yang akan datang ke Baduy sudah sadar lingkungan semua” sebelum umar banyak tanya lagi dan saya naik pitam, saya pura-pura tidur sepanjang perjalanan menuju rumah hehehe. Baduy...terima kasih atas perjalanan dan tempat tinggalnya, semoga kelak kita berjumpa lagi.

*Special Thanks buat Kang Aldi dari Baduy dalam dan rombongan teman-teman dari UGM yang saya lupa namanya, terima kasih sudah menemani saya dan menjadi teman baru saya, 

juga untuk teman-teman blogger yang namanya saya cantumkan pada photo:
Stasiun Tanah Abang, Stasiun Rangkasbitung, Terminal Ciboleger, kebetulan sekali saya belum charge kamera (kebiasaan yang jangan ditiru) jadi tidak dapat mengabadikan ketiga tempat tersebut.

No comments:

Post a Comment