Monday 22 December 2014

Ramang-Ramang Makasar



MCKY2014
Karst Maros

Awal November 2014,

Bandara Sultan Hasanudin Makasar, saya tiba disana pukul 09.36 pagi. Perjalanan melalui pesawat udara berlangsung lancar berkat cuaca cerah dari Jakarta sampai di Kota ini.
Kali pertama saya menginjakan kaki di Kota yang terkenal dengan hidangan khasnya yaitu Coto Makasar dan juga sebuah pantai yang sudah masyur ke seantero negeri, Pantai Losari, tapi kali ini saya tidak akan membahas dua hal tersebut, saya akan mengajak pembaca yang budiman untuk mengunjungi salah satu objek wisata yang tak kalah menariknya dengan Pantai Losari, bahkan kalau menurut saya, lebih mendebarkan dari wisata pantai tersebut, yaitu mengunjungi megahnya Karst Maros, Ramang-ramang dan Desa Berau

MCKY2014
Batu Wajah

Karst merupakan gugusan tebing Cadas yang terbentuk oleh erosi bawah tanah batuan seperti Batu Kapur dan Marmer yang larut dalam air. Kawasan ini juga dikenal sebagai Hutan Batu terbesar dan terindah kedua di Dunia setelah Karst di Yunnan, Cina Selatan, Cina. Kawasan Karst Maros sendiri terbentuk oleh batuan gamping sejak ribuan tahun yang lalu. membentang di wilayah kabupaten Maros dan kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, dengan luas sekitar kurang lebih 40 ribu hektar. Keunikan karst Maros-Pangkep terletak pada bentuknya yang seperti menara dan benteng batu yang berdiri sendiri maupun berkelompok membentuk gugusan pegunungan batu gamping yang menjulang tinggi dengan berbagai macam bentuk yang unik, ada sebuah menara batu yang jika dilihat dari titik yang pas akan membentuk siluet wajah. Karst Maros-Pangkep yang merupakan bagian dari Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung adalah surga bagi pecinta alam. Selain menikmati indah tebing batu, kita juga dapat menjelajahi Gua-gua disekitar karst dengan bantuan pemandu setempat, tentunya dengan peralatan dan pakaian yang sesuai dengan wisata jelajah Gua”.

RAMANG-RAMANG dan DESA BERAU

Seperti biasa, bukan Mickey namanya kalau ga spontan atau langsung ambil keputusan mau kemana a.k.a NEKAD, berbekal cerita dan arahan dari teman kantor saya yang bernama Citra, kalau ke Makasar, sudah suatu keharusan tersendiri untuk mengunjungi kawasan Ramang-ramang dan Kampung Berua, dijamin puas. Tapi saya masih ragu mengenai arah ke Maros, dan tiba-tiba saja saya ingat seseorang, aha, langsung saja saya menghubungi Mas Donny De Keizer, sebagai orang Makasar yang sekarang sudah jadi pembawa berita kondang di station TV Berita Satu di Jakarta, pasti dia tahu jalan menuju Maros, dan benar saja, setelah mendapat arahan dari Mas Donny, saya langsung mencari mobil sewaan berikut supir. menurut Mas Donny, akan lebih dekat dari airport kalau hendak ke Maros, jika ke Kota makasar terlebih dahulu akan muter-muter, okelah, thanks lho mas. Setelah mendapatkan mobil sewaan untuk satu hari seharga IDR. 600000, saya dan teman saya langsung menuju Dermaga Ramang-ramang, oh iya, berdasarkan pengalaman saya dan kebetulan tidak menyenangkan, akan lebih nyaman kalau menyewa mobil sewaan dari travel yang dapat dipercaya, jangan dari airport, selain harganya yang mahal, attitude supirnya pun bakal bikin kita naik darah, atau lebih amannya sewa mobil dari hotel.

MCKY2014
 Dermaga Ramang-Ramang
Untuk mencapai Dermaga Ramang-Ramang, Kita juga bisa menggunakan transportasi umum maupun kendaraan pribadi menyusuri jalan poros maros-pangkep kemudian berhenti di belokan jalan masuk menuju pabrik Semen Bosowa. Nah dari sini, Dusun Ramang-ramang hanya berjarak beberapa ratus meter. Jika menggunakan transportasi umum dari Makassar, kita dapat naik Pete-pete (angkot) jurusan Terminal Regional Daya, lalu lanjut naik Pete-pete jurusan Pangkep. Bilang ke pak supir untuk diturunkan di Pertigaan Semen Bosowa, Dari Pertigaan Bosowa bisa naik ojek atau naik Pete-pete lagi, kalau ingin hemat dengan alasan sehat boleh aja jalan kaki, karena jaraknya kira-kira hanya 500 meter. Ada plang tulisan Dermaga Ramang-Ramang segede gaban.

MCKY2014
Jolloro/Perahu 
Dermaga Ramang-Ramang 10.55 a.m.
Saya tiba di Dermaga Ramang-ramang saat Matahari hampir berada tepat diatas kepala, ya betul, menjelang tengah hari, tapi saya tetap bersyukur, artinya bisa dapat pencahayaan yang bagus buat foto nanti dan tanpa menunggu lama, saya menghampiri pemilik perahu di pinggir dermaga, namanya Daeng Sahrul, senyumnya manis, tutur bahasanya sopan dan halus hehehe maklum, supir sewaan yang menemani saya tata bahasanya khas Makasar alias ngajak gelut kalau buat orang yang baru kenal, beda sekali dengan Daeng Sahrul ini, yang menawarkan IDR. 250,000 untuk sewa perahu atau bahasa setempatnya adalah Jolloro dari dermaga Ramang-ramang menuju Desa Berau dan kembali lagi ke dermaga ini, sayapun setuju. Satu buah Jolloro bermesin tunggal mengantar saya menuju Kampung Berua. Sepanjang aliran sungai banyak ditumbuhi Pohon Nipah, atau Nipa untuk bahasa setempat

MCKY2014
Pohon Nipah 
Nipah, adalah sejenis palem (palma) yang tumbuh di lingkungan hutan bakau atau daerah pasang-surut dekat tepi laut. Di beberapa negara lain, tumbuhan ini dikenal dengan nama (dalam Bahasa Inggris) Attap Palm (Singapura), Nipa Palm atau losa (Filipina), atau umumnya disebut Nypa palm. Nipah dapat tumbuh di wilayah yang berair agak tawar, sepanjang masih terpengaruh pasang-surut air laut yang mengantarkan buah-buahnya yang mengapung. Nama ilmiahnya adalah Nypa fruticans Wurmb, Tumbuhan ini merupakan satu-satunya jenis palma dari wilayah mangrove.Fosil serbuk sari palma ini diketahui berasal dari sekitar 70 juta tahun yang silam.



MCKY2014
Jembatan Bambu 
Di sepanjang  perjalanan menuju Kampung Berua, mata kita akan dimanjakan oleh pemandangan alam yang indah, selain hamparan pohon nipah di kiri dan kanan aliran Sungai Puthe, kita juga akan melihat hamparan tebing Karst yang menakjubkan,  saat itu saya datang di awal bulan November, jadi belum waktunya musim hujan, tapi pemandangan disekitar Sungai Puthe tetap istimewa, saya seperti dibawa masuk ke hutan hujan Amazon, ditambah perjumpaan kami dengan Monyet Hitam dan Belibis liar, perjalanan saya kali itu makin menyenangkan, "senang karena monyetnya ga loncat ke perahu, kalau monyet dan teman-temannya yang bergerombol macam geng nero itu bergabung bersama saya, saya mungkin sudah jejeritan memeluk Daeng Sahrul minta diselamatkan, bagusnya sang monyet dkk lebih memilih hanya memandangi saya dari atas tebing batu, mungkin mereka baru mikir, “hmm enaknya diapain ya nih orang” hehehe

Anyway, Setelah hampir   tiga puluh menit menyusuri Sungai Puthe, melewati lorong-lorong tebing karang, memandangi menara-menara Karst, Daeng Sahrul menambatkan perahunya disebuah dermaga kecil, ada papan nama desa terletak tak jauh dari dermaga. 

Lorong Karst
“Selamat datang di Desa Berau” tertulis di papan penanda Desa Berau, artinya sudah sampai ditujuan. Saya tertegun mengagumi indahnya Desa Berau ini, indah luar biasa, hamparan sawah membentang sepanjang mata memandang, jajaran rumah panggung khas Sulawesi Selatan pun tampak rapi dari kejauhan, kawanan sapi yang tengah merumput, bahkan dibeberapa tebing karst yang letaknya berdekatan dengan dermaga, tampak goa goa yang sudah dijamah wisatawan. Tanpa menunggu lama, saya dan Daeng Sahrul menuju warung milik Ibu Maryamah, tetangga satu desa Daeng Sahrul di Berau ini. Di Desa Berau belum ada akses listrik, jadi sumber listriknya berasal dari panel tenaga surya dan hanya cukup untuk penerangan rumah dan menurut informasi yang saya terima, di Kampung Berua  Ramang-Ramang ini hanya didiami oleh lima belas kepala keluarga. Walau hanya didiami oleh lima belas kepala keluarga namun   dua bahasa asli Sulawesi Selatan yang digunakan yakni Bahasa Makassar dan Bahasa Bugis tetap dipertahankan oleh para warganya yang tinggal di desa ini.


Gua Siki Berlian, Gua Baru Berlian, Laba-Laba 

Desa Berau
Setelah perut terisi mie rebus plus dua telur ayam dan sekilo cabai rawit plus teh manis hangat, saya tertarik untuk menelusuri beberapa goa yang ada disekitar Desa Berau, yang pertama Gua Leang, dari warung Ibu Maryamah ke Gua ini jaraknya lumayan, lumayan bikin keringetan hehehe, kira-kira berjarak 500 meter melewati pematang sawah dan pintu gua yang mendaki, di dinding gua banyak terdapat lukisan tangan manusia purba berwarna magenta dan lantai guanya dipenuhi cangkang kerang, membuktikan bahwa jutaan tahun yang lalu dataran tinggi karst ini adalah permukaan laut, begitu kira-kira analisa saya, karena saya sudah celingukan kiri kanan cari gerobak seafood tenda khas pinggir jalan di Jakarta ga juga ketemu, hehehe. Gua yang kedua, namanya Gua Siki Berlian, saat hendak memasuki Gua ini, Daeng Sahrul memanggil Daeng lain yang punya kesaktian cukup tinggi untuk menemani kami masuk ke dalam gua tersebut diatas, disini saya masih tenang, karena pemandangan sekitar pintu gua sangatlah indah, setelah bertemu dengan Daeng yang dipercaya oleh warga setempat sebagai juru kunci gua-gua di Desa Berau ini, kami langsung menuju Gua Siki Berlian, supir saya mulai ketakutan, gayanya mulai manja, macam abg minta izin mau ke citos sama bapaknya yang lagi sakit gigi ditanggal tua, saya sih santai, kebetulan saya pake baju dan sendal gunung, tapi begitu melihat pintu gerbang guanya, saya sedikit menelan ludah, sedikit lho ya, gerbangnya terbuat dari anyaman Bambu dilengkapi dengan tali putih yang ya begitulah.. hmm...

MCKY2014
Jalan menuju Gua
okelah kita masuk saja, toh Daeng Sahrul tetap senyum pepsodent, sementara supir saya berbicara setengah memohon ke Daeng Sahrul dengan bahasa Bugis, rupanya dia minta ga ikut, tapi dilarang, kalau sudah masuk ke gerbang, ga boleh mundur, nah lho. Jalan menuju Goa Siki Berlian dan Goa Baru Berlian setengah menanjak dan dibeberapa bagian tebing kita harus mendaki, dalam hati supir saya mungkin sudah mengeluarkan sumpah serapah hahaha emang enak. Apa yang ditunjukan Daeng Kuncen sangatlah indah, stalaknit berbentuk bendungan alami yang mengandung kristal, dan cahaya lampu senter yang memantul membuat cahaya disekitar goa semakin indah, sayangnya kita harus berhati-hati saat mendaki tempat ini, jika salah pijak badan bisa terhempas kebawah dan langsung hilang ditelan kegelapan goa. Selesai mengagumi Gua Siki Berlian, kami menuju Gua Baru Berlian, hmmmmppfffh saya sebenarnya ingin menolak, tapi tatapan mata Daeng Kuncen penuh arti, maka saya, teman saya Reza, Daeng Sahrul dan supir saya akhirnya masuk ke gua ini, pintu masuknya harus memanjat vertikal ke atas dengan bantuan Bambu yang disusun menjadi tangga, bagi teman-teman yang lingkar pinggangnya lebih dari 32cm sebaiknya jangan memaksa masuk, sempit sekali. 

MCKY2014
Pintu masuk ke Gua Baru Berlian


MCKY2014
Pemandangan didalam Gua


MCKY2014
Mr. Peter Parker's bro

Butuh usaha extra buat saya dan teman-teman untuk masuk ke gua ini dan sesampainya kami didalam gua yang kira-kira berukuran kurang lebih lebar 3 meter dengan sealing setinggi 6 meter kami melihat sebuah batu yang bentuknya mirip dengan figur seorang kakek, dengan raut wajah yang sedih, naluri ke 6 saya berbicara, saya harus cepat keluar, betul saja, saat senter saya arahkan ke langit-langit gua, beuuuh...ala mak jan...adinda lebong lebong segedong bagong, (ya astaga itu laba-laba gede banget) posisinya persis diatas kepala saya dan teman-teman, dan disini saya ingin mencekik supir saya dan mempersembahka dia buat dedemit penunggu gua, bayangkan, di gua sesempit itu dia panik disko jejeritan ketakutan lihat Laba-Laba itu, belum lagi kibasan tangannya yang membabi buta, ok mungkin dia takut, tapi teman saya ternyata punya phobia laba-laba dan dia masih berusaha tenang, walau saya lihat dia gemetar, belum selesai drama sama supir saya yang marilah, kita sebut saja namanya balbie, saya menemukan sesuatu teronggok dibalik batu, kulit kering bekas ular berganti kulit, wew...bagusnya semua berjalan lancar sampai kami keluar dari Gua tersebut, saya lihat Balbie nangis dimulut gua, hahaha sukurin, gimana dong? namanya juga gua, wajar saja jika ada laba-laba dan ular, yang ga wajar tuh di dalam gua ada badut...hii..nevermind.

MCKY2014
Rumah di Desa Berau

Setelah berpamitan dengan Daeng kuncen, saya diajak mampir ke rumah Daeng Sahrul, beliau menawarkan saya dan teman saya minum, sementara Balbie masih pucing katanya, bahkan saya sempat lihat Balbie bicara sendiri..o ow..mungkin kepalanya Balbie kebentul tembok gua saat Balbie nekad loncat tadi karena si Lebong-lebong gua, awas aja kalau sampe alesan ga bisa bawa mobil, hih saya panggil itu laba-laba buat mijitin dia. Rumah Daeng Sahrul sangat nyaman, bentuknya khas rumah traditional Sulawesi Selatan, ada beranda dan bale bengong untuk Daeng Sahrul dan keluarganya bercengkrama diwaktu senggang. Ah pasti nyaman duduk santai disini saat sore hari sambil menikmati teh hangat ya.

Tidak berapa lama, saya, teman saya dan Balbie pun kembali ke Dermaga Desa Berau untuk segera kembali ke Kota Makasar, tidak lupa juga kami berpamitan ke Ibu Maryamah, pemilik warung yang sudah masakin kita mie rebus dan membuatkan teh manis di Desa Berau. Perjalanan pulang kami pun ditempuh dengan waktu yang sama saat kami berangkat tadi, kurang lebih 30 menit. Dan sepanjang perjalanan pulang, Balbie terlihat tidak nyaman, saya penasaran, kenapa bal? Tanya saya curiga, Jawaban dia membuat saya tertawa terpingkal-pingkal, Balbie pipis dicelana hahahaha, muka sih boleh sangar, tato dimana mana, tindikan sampe ujung hidung macam Kerbau aduan, eh ama laba-laba keok ahahaha (bagus dia ga tahu ya saya takut badut, Aman)


MCKY2014
Karst di Sungai Puthe
MCKY2014
Karst tampak dari kejauhan

No comments:

Post a Comment